Bos FIF Group Setia Budi Tarigan Bungkam Usai Anaknya Tabrak Mahasiswa UGM Hingga Tewas, Nir Empati!
Gosip

Satu nama mendadak jadi buah bibir: Setia Budi Tarigan. Bukan karena prestasi gemilangnya di dunia korporasi, tapi karena ia disebut-sebut sebagai ayah dari Christiano Pengarapenta Tarigan—pemuda yang diduga menjadi pengemudi mobil BMW maut, penabrak Argo Ericko Achfandi, mahasiswa UGM yang tewas di tempat.
Dari LinkedIn, terkuak bahwa Setia Budi bukan sosok sembarangan. Ia alumnus Universitas Sumatera Utara, jurusan akuntansi. Kariernya panjang dan solid. Sudah 19 tahun berkarya di FIF Group, anak perusahaan ASTRA, dan enam tahun terakhir menduduki kursi basah sebagai Direktur Operasional.
Tapi kini, publik tak sedang membahas performanya di ruang rapat. Yang jadi sorotan: posisinya sebagai seorang ayah, dan sikapnya di tengah tragedi kemanusiaan.
Baca Juga: Video Permintaan Maaf Setia Budi Tarigan, Ayah Christiano Tarigan Penabrak Mahasiswa UGM Hingga Meninggal
Sabtu dini hari, 24 Mei 2025, sekitar pukul 01.00 WIB, sebuah tragedi pilu menghantam Yogyakarta. Saat sebagian besar orang terlelap dalam damai, Argo Ericko Achfandi justru menghembuskan napas terakhirnya di jalanan Sleman.
Ia ditabrak sebuah mobil BMW, yang menurut berbagai dugaan dikemudikan oleh Christiano. Lebih memilukan lagi, sang pengemudi diduga berada di bawah pengaruh alkohol.
Argo bukan sekadar korban. Ia seorang anak muda penuh semangat, mahasiswa UGM yang sedang menapaki masa depan cerah. Tapi semuanya tamat dalam sekejap. Ia tewas di tempat. Tanpa sempat pamit, tanpa perpisahan. Hanya meninggalkan duka, amarah, dan pertanyaan besar: di mana keadilan?
Baca Juga: Setia Budi Tarigan Duduki Jabatan 'Basah' di FIF Group, Diduga Anaknya Tabrak Mahasiswa UGM Argo Ericko Hingga Meninggal
Christiano kini dalam sorotan, tapi bukan hanya dia yang digugat. Publik kini menyorot latar belakang keluarganya. Nama sang ayah, Setia Budi Tarigan, langsung melejit di linimasa. Bukan karena penghargaan atau kiprah profesional, tapi karena diamnya. Karena posisinya. Karena ia dinilai tak menunjukkan empati di tengah musibah ini.
Cristian Tarigan dengan BMW ringsek miliknya usia tabrak Argo Ericko Achfandi. [X]
Sebuah unggahan dari akun X @noturbro_ menyulut api. Ia membagikan tangkapan layar profil LinkedIn Setia Budi dan menuliskan:
"Ini bapaknya Christan kerja di Jakarta kalau gue liat dari LinkedIn. Logiknya lebih deket dia mengunjungi keluarga Argo yang juga di Jakarta daripada dia jauh-jauh ke Jogja membela anaknya. Nirempati maksimal."
Satu kalimat, tapi tajam menusuk nurani. Dan publik tak tinggal diam. Reaksi meledak. Kekecewaan mengalir deras. Banyak yang menuding keluarga pelaku seolah tak peduli, tak menunjukkan belasungkawa, apalagi empati. Seolah kematian Argo hanya angin lalu.
Yang membuat publik makin gusar: fakta bahwa Setia Budi memegang posisi penting di FIF Group, bagian dari raksasa bisnis ASTRA. Di mata masyarakat, ini bukan sekadar jabatan—ini simbol kekuasaan, dan kekuasaan selalu punya celah untuk menyetir keadilan.
Pertanyaannya sederhana: apakah keadilan bisa tegak, saat pelaku punya akses ke pengaruh dan jabatan tinggi?
Hingga kini, tak ada pernyataan resmi dari keluarga Christiano. Tak juga dari pihak FIF Group. Padahal, gelombang desakan terus naik. Netizen tak cuma meminta keadilan, mereka menuntut moralitas dan empati. Publik ingin tahu: apakah mereka punya keberanian untuk bertanggung jawab secara manusiawi, bukan hanya legalitas semu.
Argo Ericko Achfandi meninggal usai ditabrak mobil mewah milik Cristian Tarigan. [X]
Tagar #KeadilanUntukArgo dan #UsutTuntasKasusBMW menggema di berbagai platform media sosial. Seruan masyarakat jelas: usut tuntas tanpa pandang bulu! Tak boleh ada yang kebal hukum, apalagi saat korban adalah seorang mahasiswa biasa yang tak punya akses pada kekuasaan.
Tak sedikit yang menyerukan agar FIF Group turut bersikap. Mereka diminta menunjukkan sikap tegas, bukan demi pencitraan, tapi demi menjaga nilai moral dan kepercayaan masyarakat. Karena dalam tragedi ini, bukan hanya satu nyawa yang hilang. Kepercayaan publik pun nyaris runtuh.
Dan yang paling menyakitkan—di balik seluruh kontroversi, kabar viral, dan desakan publik—tersisa satu kenyataan pahit: Argo telah pergi. Terlalu cepat. Terlalu tragis.
Kini publik tak meminta mukjizat. Mereka menuntut kejelasan, keadilan, dan keberanian untuk bersikap benar. Bukan untuk membangunkan Argo dari kematian, tapi agar kepergiannya tak sia-sia. Agar tragedi ini tidak ditutup oleh uang, jabatan, atau pengaruh. Dan agar, setidaknya, dunia ini masih punya ruang untuk empati dan rasa kemanusiaan yang nyata.