Perjalanan Cinta Yurike Sanger, Berawal Kencan di Mobil Lincoln Berujung Permintaan Cerai dari Bung Karno
Kepergian Yurike Sanger, istri ke-7 Presiden Soekarno menyisakan kisah-kisah yang jarang diketahui publik. Ini adalah kisah antara seorang presiden karismatik Indonesia yang jatuh cinta pada seorang gadis, putri Manado yang lahir kala pendiri bangsa itu memproklamirkan kemerdekaan Indonesia tahun 1945.
Pertemuan pertama itu terjadi pada tahun 1963, saat upacara bendera yang dihadiri langsung Presiden Soekarno. Yurike Sanger, gadis belia yang baru saja bergabung dengan Barisan Bhinneka Tunggal Ika, tampil dengan kebaya Jawa.
Tak disangka, pandangan sang Proklamator terhenti tepat di wajahnya. Dengan senyum hangat, Bung Karno menyapa, sementara Yurike yang gugup hanya mampu menjawab singkat. Posturnya yang tinggi membuat Bung Karno sempat mengira ia seorang mahasiswi, padahal masih duduk di bangku SMP.
Baca Juga: Biodata dan Agama Yurike Sanger, Istri ke-7 Presiden Soekarno yang Meninggal di AS
"Bermimpikah aku? Bung Karno memperhatikanku lebih dari sekilas. Barangkali karena tahu aku pendatang baru dalam Barisan Bhinneka Tunggal Ika, (Bung Karno) lalu bertanya, 'Siapa namamu?'." demikian percakapan itu terjadi, seperti dikutip dari dokumen kisah Yurike Sanger yang diunggah Arta Salesta ke Scribd.
Sejak momen itu, hubungan mereka perlahan terjalin. Bung Karno memberi pesan sederhana namun membekas: agar Yurike tidak lagi memakai akhiran “ke” pada namanya. “Pakai Yuri saja,” katanya, menegaskan bahwa nama sang gadis harus mencerminkan kepribadian nasional.
Dari tatapan pertama, hati Yurike bergetar, matanya yang jernih, tutur katanya yang mantap, dan penampilan gagah presiden membuatnya kagum.
Baca Juga: Blasteran Manado-Jerman, Yurike Sanger Ditaksir Soekarno Waktu Masih SMA
Kedekatan mereka semakin nyata setiap kali Yurike ditugaskan mendampingi acara kenegaraan. Bung Karno kerap memintanya duduk di sisi, bahkan tak segan mengambilkan kue tradisional untuknya.
Di Istana Bogor, kursi di samping presiden sengaja dibiarkan kosong untuk Yurike. Pada pembukaan Ganefo, protokol istana bahkan menunjuknya menyambut langsung Bung Karno turun dari mobil kepresidenan, tugas yang jarang diberikan kepada anggota muda sepertinya.
Hubungan itu semakin intim. Bung Karno mengantar Yurike pulang dengan sedan Lincoln, lalu meminta dipanggil “Mas” alih-alih “Pak”—permintaan yang membuat gadis SMA itu nyaris tak percaya. Ia pun sering diajak berkeliling kota secara diam-diam, hingga di tepi pantai Bung Karno akhirnya berterus terang: “Apa adik tahu, Mas mencintai adik?”
Yurike Sanger
Cinta presiden pada gadis remaja itu kian serius. Setelah peresmian Wisma Nusantara pada 1 April 1964, Bung Karno menghadiahi Yurike sebuah kalung dari koleksi pribadinya, lalu mengajukan lamaran resmi ke keluarga. Meski terkejut, orangtua Yurike akhirnya memberi restu. Dan pada Kamis, 7 Agustus 1964, mereka menikah secara Islam.
Awal pernikahan dijalani sederhana. Yurike sempat tinggal bersama orangtuanya sebelum Bung Karno memberinya rumah di Cipinang Cempedak, Jakarta Timur.
Namun rumah besar itu justru menghadirkan kesepian. Di balik kemewahan, Yurike merasakan jarak yang semakin lebar. Bahkan, sebuah operasi akibat kehamilan di luar kandungan menambah luka batin.
Cemburu pun sempat menguji hubungan. Ketika seorang dokter muda menghadiahi majalah asing berisi foto mesra Bung Karno dengan aktris Italia Gina Lolobrigida, sang presiden murka dan memerintahkan pemeriksaan terhadap si dokter.
Soekarno dan Gina Lolobrigida
Puncak ujian datang setelah kejatuhan Bung Karno pada 12 Maret 1967. Ia meninggalkan istana dan hidup dalam isolasi di Wisma Yaso. Setahun kemudian, Yurike dipaksa meninggalkan rumah Cipinang Cempedak. Sebuah pesan singkat di bungkus rokok, ditulis tangan Bung Karno, menusuk hatinya: “Dik, lebih baik tinggalkan rumah itu, toh bukan rumah kita.”
Lebih menyakitkan lagi, Bung Karno sendiri yang menyarankan Yurike untuk mengajukan cerai demi masa depannya. Meski hati menolak, kenyataan tak bisa dihindari. Mereka akhirnya berpisah secara baik-baik, meski cinta di hati tak pernah benar-benar padam.
Kisah cinta Soekarno dan Yurike Sanger pun berakhir dengan perpisahan—bukan karena hilangnya rasa, melainkan karena arus sejarah yang tak mampu mereka lawan.