Me and Moms

Studi Ini Ungkap Alasan Mengapa Ibu Rela Berkorban Demi Anak

Saat terancam, reaksi pertama binatang adalah melarikan diri atau malah diam membeku.

Namun hal berbeda terjadi jika anak-anak mereka terlibat dan menjadi pihak yang teramcam.

Ilustrasi ibu dan anak. (Pexels)

Para ibu binatang biasanya akan bereaksi spontan dan menyelamatkan anak mereka yang berada dalam berbaha.

Hal itu yang coba dibuktikan oleh para ilmuwan dari Lisbon, Portugal, beberapa tahun lalu.

Sebuah studi pada tikus menemukan, perilaku defensif ibu akan berubah ketika anak-anaknya dalam bahaya.

Hal itu pula yang membuat ibu mengorbankan hidupnya untuk membela anak-anak mereka.

Dalam serangkaian percobaan, para peneliti menemukan bahwa proses ini diatur oleh aktivitas oksitosin, atau ‘hormon cinta’.

Hormon tersebut ada pada otak dan peneliti mengatakan, kemungkinan hal yang sama berlaku pada manusia.

Diketahui bahwa oksitosin memainkan peran kunci dalam ikatan antara ibu dan anak.

Meski begitu, masih banyak hal lain yang harus dipelajari tentang segala macam fungsinya.

Ilustrasi ibu dan anak. (Pexels)

Dalam studi tersebut, ahli syaraf dari Champalimaud Center for the Unknown di Lisbon, Portugal berusaha untuk mengetahui bagaimana fenomena ini saling terkait.

“Kami menggabungkan kedua hal itu. Kami mengembangkan eksperimen baru yang memungkinkan kita dapat mempelajari perilaku defensif ibu baik di hadapan atau tidak dihadapan anaknya.”

“Sementara pada saat yang sama menguji apakah tindakan oksitosin dalam amigdala diperlukan untuk pengaturan perilaku ini,” kata Marta Moita, yang memimpin penelitian ini.

Untuk melakukan penelitian ini, para peneliti melatih induk tikus tanpa anak-anak mereka, untuk mengasosiasikan aroma peppermint dengan sengatan listrik ringan.

Akhirnya, tikus belajar merasakan bau itu sebagai ancaman. Dan akibatnya, mereka membeku jika dihadapkan situasi tersebut.

“Kita memanipulasi sirkuit di mana kita tahu persis bagaimana oksitosin menyebabkan penghambatan pembekuan. Jadi kami yakin interpretasi kami terhadap hasil perilaku.”

Begitu para ibu tikus disatukan kembali dengan anak mereka, para periset menemukan bahwa perilaku mereka berubah.

Alih-alih membeku, para ibu menyerang tabung yang melepaskan bau itu, dan bahkan menumpuk potongan-potongan material untuk menghalanginya.

Dalam kasus di mana anak tikus lebih tua, para ibu merawat dan menjauhkan mereka dari jarak dekat.

Periset juga menemukan bahwa anak tikus yang ibunya membeku di hadapan aroma peppermint, akibat penghambatan oksitosin, tidak belajar mengenali aroma sebagai ancaman.

“Kami tahu bahwa komunikasi kimia sangat penting, tapi kami masih belum mengidentifikasi rangsangan sensorik yang mengaktifkan oksitosin.”

Sementara penelitian berfokus pada tikus, peneliti juga mencatat bahwa ‘Kemungkinan besar, mekanisme serupa mungkin ada pada diri kita, manusia.’

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top
Exit mobile version